Istilah pendidikan karakter sudah sangat familiar bagi kita semua. Pendidikan karakter dalam beberapa tahun terakhir ini menggema menjadi sebuah perbincangan yang hangat di kalangan akademisi. Lagi-lagi era globalisasi menjadi kambing hitam. Hal ini karena globalisasi memang telah mampu menembus segala aspek kehidupan di belahan bumi ini. Dampak globalisasi begitu dahsyat. Banyak hal yang positif yang dapat kita terima, namun sisi lain yaitu dampak negatif tidak dapat kita pungkiri.
Salah satu dampak negatif dari globalisasi adalah munculnya generasi instan, yaitu generasi hedonis, generasi yang menekankan pada aspek kesenangan dan kenikmatan tanpa melalui sebuah usaha kerja keras dan pengorbanan. Generasi instan
terlalu banyak dimanjakan oleh berbagai fasilitas untuk memenuhi
keinginan dan kebutuhannya, manakala ia tidak dapat memenuhi
keinginannya maka muncullah karakter negatif berupa jalan pintas,
menghalalkan segala cara untuk meraihnya. Jika generasi sekarang sudah
berteman dengan miras, narkoba, seks bebas, tawuran pelajar atau
mahasiswa dan akrab dengan dunia malam, maka hilangkan karakter mereka.
Hilanglah karakter sebuah generasi yang konon menjadi generasi penerus
bangsa.
Pada akhirnya kondisi seperti ini menjadi sebuah "pekerjaan rumah" yang sangat serius bagi mereka-mereka yang berkecimpung dalam dunia pendidikan dalam hal ini sekolah atau lembaga pendidikan formal. Sekolah diharapkan menjadi wahana yang tepat untuk menekankan kepada generasi muda tentang pendidikan karakter. Sejauh ini sekolah memang sering mendapat kritik pedas terkait dengan lemahnya karakter generasi saat ini. Sekolah "dituduh" hanya "mencekoki" anak-anak dengan pengetahuan dan ketrampilan (hard skill) belaka namun mengabaikan nilai-nilai kepribadian, ketrampilan mengelola diri (soft skill).
Sebagai respon melalui dinas terkait, sosialisasi tentang pendidikan karakter
sering dilaksanakan. Pada intinya sekolah sebagai lembaga formal
pendidikan mempunyai kewajiban untuk mengintegrasikan pendidikan
karakter dalam setiap mata pelajaran yang ada. Tentunya hal ini membawa
konsekuensi logis bagi setiap guru dalam memberikan materinya harus
mengaplikasikan pendidikan karakter. Cukupkah itu ? Tidak !! Pendidikan karakter
perlu keteladanan. Keteladanan adalah hal yang utama dalam pelaksanaan
pendidikan karakter. Keteladan yang baik perlu ditunjukkan oleh guru
atau warga sekolah lainnya, terlebih dari keluarga dalam hal ini adalah
orang tua. Peran orang tua justru sangat vital dalam membentuk karakter
seorang anak, karena keluarga adalah lingkungan pertama yang dikenal
oleh anak sebelum mereka bersosialisasi dengan dunia luar.
Krisis multidimensi melanda dunia pendidikan Indonesia. Di tengah derasnya modernitas, anak Indonesia kehilangan jati dirinya. Kebiasaan bernilai positif seperti kejujuran, kedisplinan dan nasionalisme mulai menghilang. Indonesia mulai kehilangan generasi terbaik seperti Soekarno, Hatta, Bung Tomo, Syafruddin Prawiranegara dan lainnya. Sosok pahlawan yang kental membudayakan nilai positif baik perkataan dan perbuatan. Generasi anak Indonesia sekarang lebih disibukkan permainan game online, merokok, free seks yang menguras pikiran dan merusak kesehatan. Kondisi ini jelas terlihat dalam peringkat indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia yang melorot tajam di posisi 124 dari 187 negara pada tahun 2011.
Berbagai problematika itu akhirnya membuat pemerintah Indonesia sadar untuk mengambil tindakan pencegahan. Setelah berdialektika dalam proses pemikiran panjang, tercipta gagasan mengembalikan mentalitas dan pandangan positif melalui pendidikan karakter. Sebuah pendidikan yang dicitrakan dapat mengembalikan nilai luhur bangsa Indonesia yang hilang. Apalagi selama ini kontruksi pendidikan karakter dinilai masih kurang. Dalam dunia sekolah hanya dua mata pelajaran (PKN dan Agama) yang mengisi ruang kosong pembentukan karakter anak Indonesia.
Upaya pendidikan karakter mendapat dukungan dan legalitas hukum. Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3 mengamanatkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Gaung pendidikan karakter mulai disosialisasikan secara luas. Dalam banyak kesempatan kalangan pemerintah tidak bosan mengumandangkan pendidikan karakter. Mereka berlomba menjadikan diri “pejuang karakter” yang dianggapnya dapat menyelamatkan masa depan anak Indonesia. Apalagi jamak diketahui, kondisi watak atau “karakter” manusia Indonesia dewasa ini kelihatan mengalami diorientasi kronis. Karena itu, adanya pendidikan karakter diharapkan banyak kalangan dapat menghidupkan kembali nilai positif identitas, etnisitas dan produktifitas demi membangun Indonesia yang lebih baik.
Hilangnya Nilai Keteladanan
Tapi harapan kadang tak sesuai fakta di lapangan. Kenginan “mengarakterkan” anak Indonesia mulai mendapatkan ujian. Pejabat pemerintah yang seharusnya mencerminkan sosok berkarakter justru gagal memberikan wajah positif pendidikan berkarakter. Dalam banyak kesempatan, politisi Indonesia dan aparat penegak hukum mempertontonkan sifat yang kontraprodktif.
Pertama, mereka mengajarkan anak nilai kejujuran, tapi mereka (para pejabat) sibuk korupsi. Anggaran negara dihabiskan demi memperkuat politik pencitraan dan mendanai operasional kelompoknya (partai politik). Selain korupsi, kalangan politisi ramai memperdagangkan produk konstitusi. Pernyataan Ketua MK Mahfud MD belakangan ini misalnya sangat mengejutkan. Menurutnya sejak MK berdiri tahun 2003 ada 406 kali uji materi terhadap berbagai produk UU. Ketika kejujuran menghilang, dimana esensi pendidikan karakter?
Kedua, anak diminta belajar membiasakan hidup dalam kesederhanaan dan tidak bergaya hidup konsumtif. Tapi anggota DPR bersikap kontras dengan sibuk memamerkan kemewahan, bersikap hedonistik dan rajin membeli mobil mahal. Penyimpangan perilaku membuat kita pantas merefleksikan kembali minimnya teladan pendidikan karakter. Para pemimpin bangsa dinilai masih belum berkarakter karena masih belum memikirkan kepentingan rakyat. Kepentingan bangsa masih dikalahkan kepentingan kelompok yang egosentris.
Mengapa nilai keteladanan penting dalam pendidikan karakter? Sebab seperti diakui mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional (Wamendiknas) Fasli Jalal bahwa pendidikan karakter adalah bagian utama pendidikan. Namun, akhir-akhir ini pendidikan lebih menitikberatkan pada aspek kognitif dan melupakan aspek akhlak (afektif dan psikomotorik) sebagai pilar utama pendidikan. Oleh karena itu, penting membangun kembali pendidikan akhlak yang diikuti dengan pembangunan pendidikan intelektualitas dan emosional, sehingga terwujud pendidikan yang holistik. Untuk melihat itu semua, peserta didik membutuhkan sosok teladan yang dapat diitiru.
Masa Depan Pendidikan Karakter
Merespons keinginan pendidikan karakter di tengah krisis keteladanan bukan perkara mudah. Hati kecil kita sebagai anak bangsa terus bertanya apa makna strategis pendidikan karakter? Apakah terbatas dinilai sebagai slogan kosong dan konsep “langitan” yang minim keteladanan. Jika itu terjadi, pendidikan karakter tidak akan pernah bisa mengubah kepribadian bangsa Indonesia.
Untuk menciptakan keteladanan, ada baiknya kita meneladani apa yang diajarkan Muhammad SAW. Beliau memberikan teladan bahasa perbuatan lebih bermakna dari perkataan. Wajar jika akhirnya pendidikan karakter ke-Islaman yang dibawanya sukses besar. Tugas kita bersama pula menyadarkan pemimpin bangsa agar tidak menjadikan pendidikan karakterbersifat retoris. Mereka harus mampu menyediakan teladan nyata sehingga dapat menginspirasi gerakan pendidikan karakter lebih luas.
Gagasan pendidikan karakter tentu baik, tapi perlu banyak kritik dalam impelementasi. Untuk itu, kita perlu mengembalikan kembali tujuan fundamental pendidikan karakter sebagai sarana meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu dan seimbang.
Akhirnya, kita harus mulai merenungkan dan berfikir ulang pemaknaan pendidikan karakter. Sebab, karakter tidak diciptakan tanpa adanya proses keteladanan. Itu dapat dimulai dari kalangan terdekat seperti orang tua, guru dan pemimpin bangsa. Ketika para pemberi teladan memberikan contoh buruk, persepsi dan tingkah laku buruk yang tercipta. Misalnya, anak mudah menggugat sebuah kalimat “kejujuran” menjadi wacana retoris. Sebab dirinya tidak menemukan kejujuran kepada orang yang memintanya berbuat jujur.
Akhirnya sampailah pada sebuah pesan singkat dari saya. Jangan hanya mengharapkan sekolah dan media menjadi satu-satunya teladan dan guru bagi anak tapi cobalah mencontohkan ketauladanan bagi mereka. Semoga bermanfaat, Salam ..
Sumber: http://hminews.com
0 komentar:
Post a Comment
Terimakasih telah membaca,
Semoga perjumpaan kali ini berkesan di hati sahabat-sahabat sekalian, silahkan diambil manfaatnya, serta dibawa pulang oleh-oleh pelajaran dan ilmunya. :)
Jika ingin meninggalkan jejak dan ingin mengirimkan komentar, Silahkan isi kotak komentar di bawah ini...