"Hai orang-orang yang
beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka
itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan
janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang
di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu
merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Hujuraat: 12)
Sahabat, jauhilah prasangka. Sebab prasangka itu membutakan hati. Engkau tak akan bisa melihat kebaikan pada diri orang lain, seberapa benderang pun kebaikan itu. Sebab mata kitalah yang telah tertutup oleh hitamnya prasangka. Yang tampak hanyalah sisi buram dari setiap orang, setiap peristiwa, bahkan terkadang juga pada Ketetapan Allah. Lalu kita ini menjadi manusia yang sombong dan berjalan di atas keangkuhan. Meskipun kita sendiri merasa telah berada di jalan yang benar.
Sahabat, menyampaikan kebenaran keyakinan kita itu harus. Tapi menghargai keyakinan orang lain itu juga mesti. Biarlah manusia-manusia lain disekitar kita yang menilai dan memutuskan. Tugas kita hanyalah menyampaiakan kebenaran yang kita yakini dan membuktikannya dengan tindakan yang kita lakoni. Dan jika pun semua orang berbeda dengan keyakinan kita, maka disitulah ujian integritas diri yang sesungguhnya. Dan kita tak perlu terprovokasi. Tak perlu emosi. Apalagi hingga mencaci maki.
Sahabat, tak bisakah kita hidup dalam kesederhanaan? Sederhana dalam mencintai dan juga sederhana dalam membenci. Menyikapi perbedaan dengan lebih arif dan berjiwa besar. Menyambut kritikan dengan senyuman. Atau menjawab tuduhan dengan kesantunan. Sebab api yang dijawab dengan api pula hanya akan membakar apa saja disekitar kita. Padahal api itu membutuhkan air untuk menyiraminya. Memadamkan amarah agar terlihat hakikat persoalannya.
Prasangka yang diperturutkan berpotensi mendorong orang untuk mencari-cari kesalahan saudaranya, atau minimal menggunjingkannya. Dan hal ini dapat menjadi awal terputusnya tali persaudaraan.
Ada sebuah cerita bahwa ada sepasang suami isteri yang dikarunia bayi laki-laki yang sangat tampan, karena sayangnya, cinta kasih suami isteri tersebut tercurah sepenuhnya pada si bayi. hingga suatu ketika, si isteri menitipkan pengasuhan bayi tersebut pada suaminya saat ia hendak pergi mandi.
Saat sedang mengasuh bayi kecilnya, datanglah seorang utusan yang meminta bapak itu untuk segera menghadap raja. Dengan segera si bapak bergegas pergi, dan meninggalkan bayinya di tengah rumah. beruntung keluarga ini memiliki tupai cerdik yang dengan setia menunggui sang bayi.
Tak lama kemudian muncul seekor ular berbisa yang hendak memangsa si bayi. Maka terjadilah pertempuran sengit antara tupai dengan ular, hingga akhirnya si ular terbunuh dengan leher hampir putus.
Beberapa saat berlalu, bapak itu pulang ke rumah. Ia sangat terkejut melihat sang tupai menerobos dari balik pintu dengan mulut berlumuran darah. Dalam hatinya, timbul prasangka bahwa tupai peliharaannya telah berbuat jahat pada putranya. Tanpa berpikir panjang, lelaki itu menghujamkan tongkatnya ke kepala tupai. binatang malang itu pun mati seketika dengan kepala hancur.
Namun, tatkala masuk ke dalam rumah, ia mendapati bayinya masih dalam keadaan sehat. Dan disampingnya tergolek bangkai seekor ular berbisa berlumuran darah. Lelaki itu segera sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan fatal dalam hidupnya: membunuh tupai yang nyata–nyata telah menyelamatkan nyawa anaknya.
Kisah yang diungkapkan Ibn Al-Muqaffa’ dalam Kalilah wa Dimnah (Fabel–Fabel Kehidupan) tersebut menggambarkan bahwa prasangka selalu membawa penyesalan serta akibat yang tidak menyenangkan. Bila sudah berprasangka orang akan “merasa” dan “bertindak” tanpa landasan yang kuat, sehingga apa yang dilakukannya tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Sahabat, jauhilah prasangka. Sebab prasangka itu membutakan hati. Engkau tak akan bisa melihat kebaikan pada diri orang lain, seberapa benderang pun kebaikan itu. Sebab mata kitalah yang telah tertutup oleh hitamnya prasangka. Yang tampak hanyalah sisi buram dari setiap orang, setiap peristiwa, bahkan terkadang juga pada Ketetapan Allah. Lalu kita ini menjadi manusia yang sombong dan berjalan di atas keangkuhan. Meskipun kita sendiri merasa telah berada di jalan yang benar.
Sahabat, menyampaikan kebenaran keyakinan kita itu harus. Tapi menghargai keyakinan orang lain itu juga mesti. Biarlah manusia-manusia lain disekitar kita yang menilai dan memutuskan. Tugas kita hanyalah menyampaiakan kebenaran yang kita yakini dan membuktikannya dengan tindakan yang kita lakoni. Dan jika pun semua orang berbeda dengan keyakinan kita, maka disitulah ujian integritas diri yang sesungguhnya. Dan kita tak perlu terprovokasi. Tak perlu emosi. Apalagi hingga mencaci maki.
Sahabat, tak bisakah kita hidup dalam kesederhanaan? Sederhana dalam mencintai dan juga sederhana dalam membenci. Menyikapi perbedaan dengan lebih arif dan berjiwa besar. Menyambut kritikan dengan senyuman. Atau menjawab tuduhan dengan kesantunan. Sebab api yang dijawab dengan api pula hanya akan membakar apa saja disekitar kita. Padahal api itu membutuhkan air untuk menyiraminya. Memadamkan amarah agar terlihat hakikat persoalannya.
Prasangka yang diperturutkan berpotensi mendorong orang untuk mencari-cari kesalahan saudaranya, atau minimal menggunjingkannya. Dan hal ini dapat menjadi awal terputusnya tali persaudaraan.
Ada sebuah cerita bahwa ada sepasang suami isteri yang dikarunia bayi laki-laki yang sangat tampan, karena sayangnya, cinta kasih suami isteri tersebut tercurah sepenuhnya pada si bayi. hingga suatu ketika, si isteri menitipkan pengasuhan bayi tersebut pada suaminya saat ia hendak pergi mandi.
Saat sedang mengasuh bayi kecilnya, datanglah seorang utusan yang meminta bapak itu untuk segera menghadap raja. Dengan segera si bapak bergegas pergi, dan meninggalkan bayinya di tengah rumah. beruntung keluarga ini memiliki tupai cerdik yang dengan setia menunggui sang bayi.
Tak lama kemudian muncul seekor ular berbisa yang hendak memangsa si bayi. Maka terjadilah pertempuran sengit antara tupai dengan ular, hingga akhirnya si ular terbunuh dengan leher hampir putus.
Beberapa saat berlalu, bapak itu pulang ke rumah. Ia sangat terkejut melihat sang tupai menerobos dari balik pintu dengan mulut berlumuran darah. Dalam hatinya, timbul prasangka bahwa tupai peliharaannya telah berbuat jahat pada putranya. Tanpa berpikir panjang, lelaki itu menghujamkan tongkatnya ke kepala tupai. binatang malang itu pun mati seketika dengan kepala hancur.
Namun, tatkala masuk ke dalam rumah, ia mendapati bayinya masih dalam keadaan sehat. Dan disampingnya tergolek bangkai seekor ular berbisa berlumuran darah. Lelaki itu segera sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan fatal dalam hidupnya: membunuh tupai yang nyata–nyata telah menyelamatkan nyawa anaknya.
Kisah yang diungkapkan Ibn Al-Muqaffa’ dalam Kalilah wa Dimnah (Fabel–Fabel Kehidupan) tersebut menggambarkan bahwa prasangka selalu membawa penyesalan serta akibat yang tidak menyenangkan. Bila sudah berprasangka orang akan “merasa” dan “bertindak” tanpa landasan yang kuat, sehingga apa yang dilakukannya tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Pantas bila Rasullullah SAW menyamakan prasangka dengan kedustaan. “Jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta,” demikian bunyi hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah.
Dalam Al Quran, Allah SWT dengan tegas
melarang hamba-Nya untuk berprasangka buruk (su’udzhan). “Hai orang-orang yang
beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari
prasangka itu adalah dosa.” (QS. Al Hujuraat 12).
Mengomentari ayat tersebut Ibnu Katsir dalam
tafsirnya mengungkapkan bahwa Allah SWT melarang orang-orang beriman
berprasangka buruk (su’udzhan), yaitu melakukan tuduhan dan sangkaan terhadap
keluarga, kerabat, ataupun siapa saja yang tidak pada tempatnya, karena hal itu
termasuk perbuatan dosa. “Maka jauhilah banyak prasangka itu sebagai sebuah
kewaspadaan,” ungkap Ibnu Katsir lebih lanjut.
Abdul Hamid Al-Bilali mengungkapkan bahwa
prasangka tidak akan terlepas dari dua kondisi:
Kondisi pertama, untuk sesuatu yang dapat
diketahui dan diperkuat dengan dalil dan bukti-bukti. Sangkaan atau dugaan
dalam kondisi ini boleh untuk dijadikan hukum. bahkan, sebagian besar
hukum-hukum syariah dibentuk atas dasar praduga semacam itu, seperti qiyas,
riwayat satu orang, dan dan sebagainya seperti nilai-nilai kebaikan dan
undang-undang peradilan.
Kondisi kedua, adalah prasangka atau praduga
yang tidak berlandaskan dalil dan bukti-bukti. Kondisi semacam ini tidak lebih
dari dugaan kosong belaka, dan tidak layak dijadikan landasan untuk menerapkan
hukum. Sebenarnya, prasangka jenis kedua inilah yang tidak dilandaskan pada
bukti yang akurat dan korelasi dominan, dan tidak boleh kita lakukan dan wajib
hukumnya untuk kita jauhi.
Pertanyaannya, mengapa Allah dan Rasul-Nya
melarang kita berprasangka (buruk)? Islam adalah ajaran yang lebih mendahulukan
pencegahan dari pada pengobatan. Islam akan bersikap tegas dalam memotong
hal-hal yang berpotensi menimbulkan mudharat yang lebih besar. Demikian pula
dengan prasangka. Walau tak tampak secara langsung di permukaan, tapi ia
berpotensi menggiring manusia pada perbuatan dosa yang lebih besar.
Prasangka dapat pula melahirkan sikap munafik.
Dalam arti apa yang diucapkan dan dilakukan bertentangan dengan kehendak hati.
Lain di bibir lain di hati. Bisa jadi saat berinteraksi dengan orang yang kita
sangkai, kita berkata sesuatu padahal hati kita menyangkal atau meragukannya.
Prasangka dapat bisa menyebabkan orang berdusta dan mengabaikan amanah
khususnya dari orang yang diprasangkai. Padahal, kemunafikan adalah perbuatan
yang sangat dibenci oleh Allah.
Yang tak kalah bahayanya, prasangka bisa
membuat hubungan interpersonal menjadi kurang hangat. Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah
mengatakan bahwa semua amal dan prilaku diawali oleh persepsi dan cara pandang
seseorang.
Prasangka buruk hakikatnya adalah pikiran
negatif. Dan, perilaku seseorang sangat ditentukan oleh pikirannya. Karena itu,
ketika seseorang berprasangka buruk, maka setiap gerak dan prilakunya akan
menampakkan hal yang buruk juga. Termasuk raut muka, gerak tabuh, ucapan, dan
tingkah lakunya.
Prasangka timbul akibat tidak lengkapnya
informasi yang sampai tentang seseorang. Akibatnya si penerima informasi hanya
menduga-duga bahwa orang yang dilihatnya seperti A, B, atau C. Tidak ada
kepastian. Karena itu, cara efektif untuk meminimalisasi prasangka adalah
dengan menyerap informasi secara lengkap, tidak sepotong-potong. Dalam
bahasanya Aa Gym, informasi yang diserap harus memenuhi kriteria BAL (benar,
akurat, dan lengkap).
Kedua, prasangka bisa timbul karena pencitraan
buruk terhadap seseorang. Karena itu Allah SWT merancang “formula tabayyun”
agar umatnya tidak jatuh pada prasangka akibat kedengkian orang-orang fasik.
Difirmankan, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al Hujuraat : 6).
Tabayyun dapat diartikan sebagai klarifikasi,
uji kebenaran, atau mengecek ulang tentang kebenaran sebuah berita. Sikap
kritis itu diperlukan untuk menghindari fitnah yang akhirnya akan menimbulkan
penyesalan dikemudian hari sebagai dampak dari informasi yang salah.
Ketiga, prasangka timbul dan akan tumbuh subur
dalam hati yang kotor. Maka, langkah paling mendasar untuk meminimalisasi
lahirnya prasangka adalah dengan menjaga kesucian hati. Sayyid Quthb dalam Fi
Zhilalil Quran mengungkapkan bahwa putihnya hati yang tidak tercoreng prasangka
buruk akan membebaskan manusia dari kegamangan dan keraguan; juga melahirkan
ketenangan yang tidak tercemari kekhawatiran. “Alangkah indah kehidupan yang
terbebas dari prasangka dan praduga kosong!,” demikian ungkapnya.
Melihat fenomena kita di Indonesia sekarang
ini sangatlah banyak hal-hal yang negatip muncul akibat prasangka tadi,
contohnya saudara sekandung bisa saling bunuh, orang tua dan anak demikian
juga, bahkan antara sesama teman juga terjadi demikian. Dan memang dampak dari
sifat ini sangatlah merugikan. Marilah kita introspeksi diri kita agar jangan
sampai jatuh dalam sifat jelek tersebut. ?
0 komentar:
Post a Comment
Terimakasih telah membaca,
Semoga perjumpaan kali ini berkesan di hati sahabat-sahabat sekalian, silahkan diambil manfaatnya, serta dibawa pulang oleh-oleh pelajaran dan ilmunya. :)
Jika ingin meninggalkan jejak dan ingin mengirimkan komentar, Silahkan isi kotak komentar di bawah ini...